Minggu, 29 Desember 2013
♥
Bendera Dari Tempat Sampah
Malam, pukul sebelas, aku dan teman-temanku
baru pulang dari stadion GBK. Kami baru saja menyaksikan pertandingan bola
timnas Indonesia melawan negara tetangga. Di dalam mobil, kami masih sempat
mengobrol dan membunyikan terompet berwarna merah putih. Danil, si pemilik
mobil, menyetel lagu kencang-kencang. Cukup gaduh suasananya, kan?! Mungkin
kami terlihat bersenang-senang, padahal kami hanya menutupi kekecewaan karena
kalahnya timnas Indonesia.
"Eh, Dan! Stop, stop!" seru salah
seorang temanku, Luki.
Danil pun mendadak menghentikan mobilnya,
lalu bertanya pada Luki, "emang kenapa?"
"Tuh, liat! Ada tempat sampah di
pinggir jalan. Gak sekalian aja nih, kita buang atribut-atribut yang tadi kita
bawa ke GBK!" jawab Luki.
Serentak, semua penumpang mobil tertawa,
"hahaha ... Bener, tuh!"
Andre pun turun dan menuju bagasi.
Dikeluarkannya spanduk yang bertuliskan dukungan untuk timnas, huruf-huruf
"Indonesia", beberapa petasan yang belum dinyalakan, bendera,
kacamata warna-warni, syal dan masih banyak lagi.
"Eh, syal sama kacamata mau dibawa
pulang gak?" tanya Andre.
"Udah buang aja! Lagian kan, masih
banyak yang jual!" jawab Danil santai.
"Kalo bendera sama petasannya
gimana?" tanya Andre lagi.
"Siapa sih, yang mau bawa pulang bendera
sama petasan?" Danil membalikkan pertanyaan, dengan nada tinggi.
Andre diam saja. Dia segera membuang
atribut-atribut itu ke tempat sampah di pinggir jalan.
"Eh, Bang! Jangan!" seseorang
meneriaki Andre.
Kami langsung mengalihkan pandangan ke anak
jalanan berbaju dekil. Dia-lah yang tadi berteriak. Anak itu setengah berlari
menghampiri Andre, lalu merebut bendera dari tangan Andre. Aku, Danil dan Luki
memperhatikan dari dalam mobil.
"Gembel! Kenapa lo, hah?" tanya
Andre dengan nada menantang.
"Bang, jangan pernah buang bendera
ini. Sedikit aja nih bendera nyentuh tempat sampah, sama aja Abang menjatuhkan
Indonesia!" ujar si anak jalanan dengan berani.
Luki menurunkan setengah kaca mobil, lalu
berteriak, "woy anak kecil! Jangan sok tau dan gak usah sok nasihatin,
deh! Kita udah gede, udah SMA. Lo, SD aja paling gak lulus!"
Tawa meledak dari mulut kami. Tapi anak itu
sepertinya tak gentar. Matanya masih mengkilat, marah, dan menatap kami tajam.
"Anak kecil," panggilku halus,
namun dengan maksud mengejek. "Lo liat tuh, di sepanjang GBK, banyak
sampah bendera. Lo kalo mau ambil ya ambil aja sana! Gak usah sok alim deh, di
depan kita!" aku ikut mengejek.
"Ada-ada aja ya, bocah!" cibir
Andre ketika memasuki mobil.
"Mungkin dia ngambil bendera untuk dijadikan
selimut atau baju, hahaha ..." ledekku.
Kami berempat pun melanjutkan perjalanan
pulang dengan tawa dan musik yang masih disetel keras-keras.
Sebulan sejak peristiwa itu, aku hampir
saja melupakan si bocah gembel yang kami temui sepulang dari GBK. Hingga hari
ini, tiba-tiba aku kembali teringat padanya. Gak lama kan, Indonesia akan
merayakan kemerdekaan. Orang-orang di sekolah dan orang-orang di lingkungan RT
kelihatan sibuk. Nah, makanya aku ingat kembali dengan si gembel itu.
"Eh, inget gak sama gembel pecinta
bendera?" aku bertanya, membuka obrolan.
Saat itu, aku sedang ngumpul di kantin
sekolah bareng teman-teman yang lain.
"Iya gue inget, yang kita temuin
malem-malem, kan?!" Danil memastikan.
"He'eh," aku menjawab dengan
anggukan.
"Hah? Gembel? Siapa?" tanya Debi
penasaran.
"Lo gak ikut ke GBK, sih. Waktu
pulang, kita kan mau ngebuang atribut-atribut yang kita bawa buat nonton bola,
terus ada gembel yang tiba-tiba dateng, gak tau dari mana. Dia ngerebut bendera
dari tangan gue, pake nasihatin kita segala, lagi," Andre menceritakan.
"Oooh ... Gitu doang?" tanya
Derbi dengan tatapan mengejek.
"Iya, gitu doang! Emang lo maunya apa
lagi?" celetuk Luki.
"Kira-kira tuh anak gimana, ya?
Jangan-jangan dia ngambilin bendera terus dijual, lagi!" Danil asal
menebak.
Kita berlima tertawa. Kalau sudah ngumpul
begini, kita memang suka menertawakan apa saja. Bahkan di kelas pun kita juga
sering menertawakan gaya pakaian guru, atau menguping anak cewe yang bergosip
atau curhat, habis itu kita ledekin. Pokoknya kita berlima emang gokil dan full
kidding. Sebenarnya cara kita ini gak pantes untuk mengisi kemerdekaan. Tapi ya
... mau gimana lagi? Kita susah buat ngilangin sifat ini.
Sore hari, sekitar jam lima, aku sedang
mencuci motor sambil bersiul-siul pelan. Kemudian lewatlah penjual bendera yang
berteriak-teriak nyaring. Biasalah, mau tujuh belasan.
"Ganggu aja, gue semprot juga,
nih!" aku menggerutu sambil menyemprotkan selang ke jalanan.
"Heh! Liat-liat, dong! Bendera saya
basah, nih!" protes si penjual bendera.
Rupanya masih kecil, sekitar kelas 5 SD.
Aku tidak memedulikannya, lalu melanjutkan mencuci motor. Aku tidak sempat
melihat wajah si anak kecil itu, tapi jadi terpikir untuk mengejeknya.
"Mana? Paling yang basah sedikit
doang," ucapku santai tanpa mengalihkan pandangan dari motor.
"Walaupun sedikit, tapi ..." anak
kecil itu memprotes, lalu aku menyela, "tuh kan, cuma sedikit. Ya udah
sana jualan lagi! Kalo enggak pergi juga, gue semprot lagi, nih!"
"Woy! Woy! Bisanya ngancem
doang!" tiba-tiba, teman-teman si anak penjual bendera datang bergerombol.
Aku pun menoleh dan baru kusadari kalau
dari tadi aku bicara dengan gembel yang waktu itu aku temui. Ya. Aku sangat
yakin, dia-lah si gembel yang waktu itu. Cukup jauh juga, dia berkeliling
berjualan bendera.
"Lo lagi, lo lagi! Elo tuh emang suka
nantangin, ya?" tanyaku sinis.
"Han, lo kenal orang itu?" tanya
salah seorang temannya.
"Gue gak kenal, tapi gue pernah ketemu
dia," jawab si gembel.
"Jangan-jangan bendera yang lo jual
ini hasil dari tempat sampah, ya?" aku mengejek dan mengingat perkataan
Danil di kantin tadi.
"Iya, tapi udah dicuci dan disetrika.
Lagian, sebagian besar bendera yang kita jual ini masih baru. Baru
dijahit."
"Hah? Anak gembel kayak kalian mana
bisa jahit bendera?" aku menganggap remeh.
"Kita emang gembel, tapi kita bukan
pengemis atau pengamen. Kita berusaha kerja dan kita masih bisa sekolah. Jadi,
Abang jangan pernah remehin kita!" serunya tanpa takut.
"Asal Abang tau, di deket rumah kita
itu ada ibu-ibu penjahit. Dan kalau mau tujuh belasan begini, dia biasanya
menjahit bendera," ujar anak yang lain.
"Begini-begini, kita juga mengerti
arti kemerdekaan, Bang! Silakan Abang mengisi kemerdekaan dengan cara Abang
sendiri! Tapi kalau pun kita punya banyak uang, kita gak akan memilih
foya-foya," seru si gembel tanpa berkurang semangatnya.
Aku hanya menghela napas dan mengangkat
bahu, "iya iya iya, apa kata kalian, gue gak butuh ceramah kali, gue juga
sekolah kok, tahun depan gue lulus SMA dan ilmu kalian tuh masih cetek,"
aku menghina lagi.
"Wah bagus tuh, nanti kalau abang
sudah lulus, jadikan negara ini lebih maju, ya!" anak yang lain ikut-ikut
menasihati.
Aku termenung beberapa saat. Betapa
polosnya anak-anak ini.
"Ya udh, sana sana!" usirku
sambil melambaikan tangan dengan masuk mengusir.
Tanpa banyak bicara, mereka pergi membawa
gerobak bendera dan mendorongnya bersama-sama.
Aku masih diam memandangi mereka sampai
tidak terlihat. Pikiranku tidak lagi terfokus pada motor yang sedang kucuci,
aku memikirkan perkataan mereka yang sempat menunda aktifitasku sore ini.
-----------------------***--------------------
Malam ini, jam sebelas. Tidak akan terlupa
ketika aku bersalaman dengan salah satu pemain sepak bola idolaku, anggota
timnas Indonesia, Raihan Sholeh. Dia masih saja kurus, kulitnya lebih hitam,
namun gerakannya gesit.
Ketika bersalaman, kupandangi
mata Raihan lekat-lekat, mata yg selalu
mengkilat karena semangat dan keberanian.
Raihan mengerutkan kening ketika melihatku.
"Raihan, aku yang dulu pernah
mengejekmu, sekarang jadi fans beratmu lho," ucapku sambil menyeringai.
Raihan hanya diam, memperdalam kerutan di
kening. Sepertinya dia lupa.
"Aku sudah baca kisah hidupmu, dulu
hanyalah gembel yang menjual bendera dari tmpat sampah. Masih ingatkah sama
aku? Yang dulu pulang dari GBK, menyemprotmu ketika lewat di dpean rumahku,
lalu kamu dan teman-temanmu menasihatiku. Ingat gak?" aku bertanya dengan
antusias.
Raihan melotot, tapi dari ekspresinya, aq
yakin dia mengingatku dan tampak senang.
"Hai, Bang! Kemana saja kau?
Tahu-tahunya kita ketemu disini" kata Raihan ceria, seolah menyambut teman
lama.
"Kau yang kemana saja? Bisa hebat
begini, padahal aku yang sejak dulu menggilakan bola sekarang hanya menjadi
karyawan swasta," ucapku.
"Yaaa, aku juga penggila bola, makanya
aku bekerja supaya bisa masuk SSB. Aku latihan ketat, rajin belajar dan tentu
saja tidak menyerah, dengan niat bisa mengharumkan nama Indonesia,"
ujarnya bangga, tanpa maksud sombong.
"Wah, rasa cintamu pada negara ini
tidak berkurang, ya?!" kataku, kagum.
"Iya dong, aku kan tinggal di
Indonesia," sahutnya.
Aku merangkul Raihan dan menepuk-nepuk
punggungnya, lalu kami saling bergurau. Terlihat jelas perbedaan umur di antara
kami, tapi kedewasaan dia juga tampak nyata dari ucapannya. Sejak awal kita bertemu,
walau pertemuan singkat, dia sudah menunjukkan pikiran cemerlangnya.
Label: cerpen
0 Comment(s)
03.03


