Senin, 30 Desember 2013
♥
Kesalahan Penulis Dan Kelemahan Penulis Pemula
- Serangan Kata Sama
Dalam setiap workshop Kepenulisan Komunitas Bisa dan Asma Nadia kita selalu menekankan kesalahan penulis yang nyaris terjadi hampir pada semua penulis pemula, yaitu serangan kata yang sama.
Paling banyak serangan kata aku.
Misalnya:
Ketika Aku pulang ke rumahku, aku buka pintu rumahku dan kulihat adikku sedang tidur. (ada 5 ku)
Ini terlalu banyak aku buka atau serangan "ku"
Sebaiknya dihilangkan 'ku' nya
Ketika pulang ke rumah, ku buka pintu dan kulihat adik sedang tidur.
Jadi kalau membaca ulang tulisan kita coba lihat kata mana yang paling banyak di ulang.
- Miskin Variasi Kata
Salah satu yang membuat sebuah tulisan membosankan adalah karena penulisnya miskin dalam memilih kata, sehingga terlalu banyak kata diulang padahal bisa ditulis dengan kata lain yang serupa.
Misalnya
Hari ini ibu pergi ke pasar, lalu pergi rumah sakit menjenguk bibi yang sakit, lalu ke kantor menemui ayah, lalu ke sekolah menjemput anak-anak.
Itu akan lebih baik jika:
Hari ini ibu pergi ke pasar, kemudian pergi rumah sakit menjenguk bibi yang sakit, setelah itu ke kantor menemui ayah, dan selanjutnya ke sekolah menjemput anak-anak.
Contoh lain:
Rita benci sekolah, setiap hari ia berusaha untuk menghindari sekolah, ia bahkan sering pura-pura sakit supaya tidak pergi ke sekolah.
Bisa dibuat varisasi
Rita benci sekolah, setiap hari ia berusaha untuk menghindari sekolah, gadis kecil itu bahkan sering pura-pura sakit supaya tidak pergi ke sekolah.
- Kalimat Tidak Efektif
Kalimat tidak efektif membuat sebuah tulisan menjadi membosankan, membuang waktu pembaca, membuat kesan penulis suka bertele-tele.
Kita mengulang kata yang sudah ada, memberitahu sesuatu yang sudah diberitahu, memberi info yang sudah disampaikan sebelumnya.
Buatlah kalimat yang efektif, sehingga tulisan tidak terkesan sengaja dipanjangpanjangkan, dipuitispuitiskan, atau dipaksakan.
Contoh:
Ketika saya masuk ke dalam rumah saya, lalu melihat dengan mata saya, istri saya berselingkuh.
Tidak efektif karena:
Masuk ya ke dalam mau kemana lagi, jadi hilangkan saja ke dalam.
Melihat ya dengan mata dengan apa lagi, jadi hilangkan salah satunya.
istri saya, ya sudah jelas konteksnya di rumah tentu saja maksudnya istri saya masa istri orang lain.
Nah semua ketidakefektifan itu bisa dibuang menjadi, misalnya:
Ketika masuk ke rumah, saya melihat istri berselingkuh.
Atau boleh agak panjang buat penekanan:
Ketika masuk kerumah, dengan mata kepala sendiri, ku lihat istriku berselingkuh.
Terkesan tidak efektif tapi masih disengaja untuk menumbuhkan penekanan).
(tapi tetap masuk ke dalam, di buang).
Contoh kalimat tidak efektif lainnya:
Aku berjalan dengan kakiku.....(Mau puitis? Tapi berjalan kalau bukan dengan kaki pakai apa?)
Saya membeli banyak baju-baju (Banyak itu sudah jamak, ya pilih mau beli banyak baju atau beli baju-baju).
- Menulis Sekaligus Mengedit
Salah satu kesalahan umum penulis pemula sehingga tulisan mereka tidak selesai-selesai adalah karena mereka menulis sekaligus mengangkat diri jadi editor. Untuk awal mula menulis, menulislah sebagai penulis, terus tulis dan jangan jadi editor dulu sampai selesai.
Semua tentu saja ingin tulisannya sempurna, tapi mengedit tulisan sebelum selesai bisa membuat kamu sama sekali tidak selesai menulis. Baru membuat paragraf kedua kamu berhenti tidak puas lalu kutak katik lalu kembali ke paragraf ke satu lalu kutak katik akhirnya kamu bosan, stres dan tulisan tidak selesai.
Karena itu untuk pemula, tulis saja terus, abaikan salah tulis, abaikan tanda baca, berlatih dulu untuk menulis sampai selesai. Kalau selesai baru baca ulang, lihat kesalahan kalau tidak puas boleh rombak, bahkan kadang penulis seniorpun bisa merombak sebagai besar tulisan yang sebenarnya sudah selesai, tapi itu biasa, yang penting sudah selesai dulu.
Pernahkah Mengalaminya?
- Miskin Diksi Dan Kosa Kata
Salah satu kelemahan penulis pemula adalah miskinnya diksi atau pemilihan kata.
Seringkali kita terpukau dengan tulisan para sastrawan dan merasa mereka begitu piawai merangkai kata.
Sesuatu yang sulit ditemukan pada tulisan para pemula.
Apa yang membedakan?
Salah satunya adalah kelebihan para sastrawan dan penulis profesional adalah kejeniusan mereka memilih diksi.
Sederhananya diksi itu adalah pilihan kata, yang menurut kita paling tepat, representatif dan impresif, dari berbagai pilihan yang ada.
Saya akan memberi contoh.
Pada kalender Jilbab Traveler 2013, bulan Februari Asma Nadia menulis kalimat motivasi:
"Jilbab bukan hambatan bagi muslimah untuk mengembara di bumi-Nya yang luas"
Di mana diksi Asma Nadia bermain?
Di kata 'mengembara'.
Penulis biasa akan memilih kata berjalan-jalan, bepergian, berkeliling, dll.
Tapi Asma Nadia memilih kata 'mengembara' dan saya merasa itu adalah pilihan kata paling tepat. Kata 'mengembara' memberi nilai kemandirian, petualangan dan lebih nyastra.
Pada kalender yang sama, bulan Januari Asma Nadia menulis kalimat motivasi:
"Jilbab biarkan orang lain mencuri mimpimu"
Di mana diksi Asma Nadia bermain?
Di kata 'mencuri'.
Penulis biasa akan memilih kata menghambat, menghalangi, dll.
Tapi Asma Nadia memilih kata 'mencuri' dan saya sekali lagi mendukung itu adalah pilihan kata paling tepat. Kata 'mencuri' memberi nilai bahwa impian adalah hak setiap orang dan orang yang menghambat impian orang lain sama dengan mencuri hak mereka.
Asma memilih kalimat motivasi ini di bulan Januari sebagai pesan bahwa seluruh gambar yang ditampilkan pada kalender adalah simbol impian yang harus dikerjar.
Pada level yang lebih tinggi, pemilihan kata (diksi) bisa melampaui makna biasa.
Helvi Tiana Rosa, pada workshop menulis seringkali mencontohkan seorang sastrawan yang memilih kata merangkak untuk menggambarkan angin
"Angin merangkak masuk ke dalam kamarku..."
Itu diksi.
Orang umumnya mengatakan angin berhembus atau bertiup, tapi ia memilih merangkak.
Pada level tertentu, seorang penulis bebas memilih kata apapun. Tapi di sisi lain jika tidak tepat, mereka bisa dihujat atau dianggap tidak mengerti bahasa.
Di situ justru kelihatan siapa yang benar-benar menemukan diksi yang tepat dan yang sekedar mencari sensasi.
Pernah suatu saat Asma Nadia 'menegur' twit seorang pengusaha yang mengatakan
'Saya baru saja membakar anak-anak yatim'
Menurut Asma itu kurang sopan, terkesan kasar, apalagi obyeknya adalah anak yatim yang inferior dan lemah.
Sekalipun Asma Nadia sendiri tahu bahwa yang dimaksud pasti membakar semangat anak yatim, penulis yang terpilih sebagai tokoh perubahan Republika 2010 ini tetap merasa kurang pas.
Kebetulan si pentwit adalah pengusaha ayam bakar, jadi kesannya jadi lain.
Setelah mendapat cc dari penulis wanita best seller ini, akhirnya si pen-twit mengatakan lupa memberi tanda kutip pada kata "membakar" sebagai simbol bukan kata membakar sebagai makna asli.
Tapi tetap saja pemilihan kata membakar ini menjadi 'pertanyaan'.
Seandainya saja twit tersebut diganti 'saya baru saja membakar para menteri' dengan maksud sama, apakah pantas? Kalau ke menteri tidak sopan, ke anak yatim juga tidak sopan. Bagaimana menurut Anda?
Jadi diksi kadang juga menimbulkan masalah, karena itu kita harus benar-benar piawai bermain dengan diksi.
Kesimpulannya, diksi atau pemilihan akan membuat sebuah tulisan lebih berbobot, tapi jangan asal pilih kata sekedar cari sensasi.
Kita harus berani bereksplorasi, ambil risiko untuk sebuah tulisan yang bagus, memilih kata kata yang unik, tepat tapi inspiratif.
Berani coba?
- Terlalu Banyak Karakter Atau Terlalu Sedikit
Menentukan
berapa jumlah tokoh karakter dalam sebuah cerpen atau novel merupakan
salah satu pertimbangan yang harus dipikirkan oleh seorang penulis.
Salah satu kelemahan penulis pemula adalah mereka tidak mempertimbangkan berapa banyak jumlah karakter yang perlu ditampilkan dalam cerpen atau novel.
Padahal itu sangat penting sekali.
Misalnya satu kelurga ada ayah ibu dan anak. Tapi dalam cerpen ketika sedang mengisahkan hubungan anak dan ibunya, sosok ayah tidak perlu ditampilkan bahkan terkadang tidak perlu dijelaskan ada di mana masih ada atau tidak bercerai atau meninggal. Kalau memang tidak dibutuhkan, ya abaikan saja.
Ketika Adam Putra Firdaus (8 tahun), putra kami, mulai menulis Mostly Ghostly, ia berdiskusi dengan bundanya, Asma Nadia, berapa tokoh yang ingin ditampilkan.
Bukunya merupakan cerita anak-anak yang setiap kali ada isu hantu maka mereka justru menelusuri dan membuktikan itu hantu atau bukan. Tujuannya agar anak-anak Indonesia tidak takut hantu.
Nah setelah diskusi cukup panjang, akhirnya Adam dan bundanya sepakat tokohnya hanya 3 orang saja.
Kenapa? Karena kalau 4 atau lima terlalu banyak. Sedangkan buku tersebut berisi beberapa kisah pendek berseri yang terlepas satu dan lainnya, jadi kalau tokohnya banyak akan makan waktu, setiap orang perlu dialog setiap orang butuh dijelaskan melakukan apa ketika berada di mana.
Kenapa tidak 2, nanti terlalu sedikit sehingga akan sulit memberi bumbu konflik.
Kalau satu, juga terlalu sedikit sehingga sulit memberi bumbu humor.
Memang Adam suka memberi bumbu humor pada cerpennya, dan jumlah tiga orang menjadi mungkin karena Adam tinggal memasukkan salah satu dari mereka punya karakter yang lucu.
Alhamdulillah, keputusan itu tepat, buku ini sangat diminati anak-anak, dan pembaca anak-anak banyak yang mengatakan buku ini lucu, bahkan sudah 3 produser yang berminat untuk mengangkatnya ke layar lebar (insya Allah).
Adam bahkan melanjutkan dengan buku kedua Mostly Spooky.
Kalau tokohnya 4 atau 6 orang mungkin kisah ini akan jadi terlalu panjang dan membosankan.
Ketika Asma Nadia membuat cerpen Emak Ingin Naik Haji, yang kemudian diangkat dalam layar lebar, Asma juga mempunyai pertimbangan kenapa Zen sang anak adalah anak tunggal.
Kenapa?
Kalau anak emak banyak, emak tinggal minta anaknya patungan atau bisa saja salah satu anaknya sukses dan bisa menghajikan ibunya. Jadi konfliknya tidak wajar.
Justru cerita ini menjadi wajar karena Zen adalah putra satu-satunya dan harapan satu-satunya.
Emak juga dibuat hidup tanpa suami (janda), karena kalau emak masih punya suami ya suaminya dong yang menghajikan istrinya.
Karena itu memutuskan bahwa Zen adalah anak tunggal dan Emak adalah single mother merupakan hasil pertimbangan matang agar sebuah cerita menjadi kuat.
Cerpen Emak ingin naik haji bisa dibaca dalam buku Ummi terbitan Republika (Kumpulan cerpen dan novelet Asma Nadia tentang ibu).
Saya sendiri pernah membaca naskah peserta lomba penulisan cerpen.
Di sana banyak sekali penulis yang memasukkan karakter asal tempel.
Misalnya:
Rita adalah siswa SMU yang sangat populer. Ia mempunyai genk ngetop yang beranggotakan 6 gadis cantik, Siska, Tia, Dita, Ajeng, Vina dan tentu saja ia sendiri.
Lalu di cerita tersebut dibahas konflik antara Rita dan Tia, sedangkan lainnya hanya tempelan. Padahal kalau satu genk tiga orang saja cerita tersebut tetap mengalir.
Jadi kisah itu kebanyakan tokoh sehingga hanya tokoh tempelan.
Apa itu tokoh tempelan?
Tokoh yang kalau kita cabut dari cerita, maka tidak memberi pengaruh apa-apa, karenanya dihilangkan saja.
Jadi intinya, kalau mau menulis cerpen atau niovel, pikirkan berapa tokoh yang kita ingin masukkan. Jangan kebanyakan jangan pula terlalu sedikit.
Salah satu kelemahan penulis pemula adalah mereka tidak mempertimbangkan berapa banyak jumlah karakter yang perlu ditampilkan dalam cerpen atau novel.
Padahal itu sangat penting sekali.
Misalnya satu kelurga ada ayah ibu dan anak. Tapi dalam cerpen ketika sedang mengisahkan hubungan anak dan ibunya, sosok ayah tidak perlu ditampilkan bahkan terkadang tidak perlu dijelaskan ada di mana masih ada atau tidak bercerai atau meninggal. Kalau memang tidak dibutuhkan, ya abaikan saja.
Ketika Adam Putra Firdaus (8 tahun), putra kami, mulai menulis Mostly Ghostly, ia berdiskusi dengan bundanya, Asma Nadia, berapa tokoh yang ingin ditampilkan.
Bukunya merupakan cerita anak-anak yang setiap kali ada isu hantu maka mereka justru menelusuri dan membuktikan itu hantu atau bukan. Tujuannya agar anak-anak Indonesia tidak takut hantu.
Nah setelah diskusi cukup panjang, akhirnya Adam dan bundanya sepakat tokohnya hanya 3 orang saja.
Kenapa? Karena kalau 4 atau lima terlalu banyak. Sedangkan buku tersebut berisi beberapa kisah pendek berseri yang terlepas satu dan lainnya, jadi kalau tokohnya banyak akan makan waktu, setiap orang perlu dialog setiap orang butuh dijelaskan melakukan apa ketika berada di mana.
Kenapa tidak 2, nanti terlalu sedikit sehingga akan sulit memberi bumbu konflik.
Kalau satu, juga terlalu sedikit sehingga sulit memberi bumbu humor.
Memang Adam suka memberi bumbu humor pada cerpennya, dan jumlah tiga orang menjadi mungkin karena Adam tinggal memasukkan salah satu dari mereka punya karakter yang lucu.
Alhamdulillah, keputusan itu tepat, buku ini sangat diminati anak-anak, dan pembaca anak-anak banyak yang mengatakan buku ini lucu, bahkan sudah 3 produser yang berminat untuk mengangkatnya ke layar lebar (insya Allah).
Adam bahkan melanjutkan dengan buku kedua Mostly Spooky.
Kalau tokohnya 4 atau 6 orang mungkin kisah ini akan jadi terlalu panjang dan membosankan.
Ketika Asma Nadia membuat cerpen Emak Ingin Naik Haji, yang kemudian diangkat dalam layar lebar, Asma juga mempunyai pertimbangan kenapa Zen sang anak adalah anak tunggal.
Kenapa?
Kalau anak emak banyak, emak tinggal minta anaknya patungan atau bisa saja salah satu anaknya sukses dan bisa menghajikan ibunya. Jadi konfliknya tidak wajar.
Justru cerita ini menjadi wajar karena Zen adalah putra satu-satunya dan harapan satu-satunya.
Emak juga dibuat hidup tanpa suami (janda), karena kalau emak masih punya suami ya suaminya dong yang menghajikan istrinya.
Karena itu memutuskan bahwa Zen adalah anak tunggal dan Emak adalah single mother merupakan hasil pertimbangan matang agar sebuah cerita menjadi kuat.
Cerpen Emak ingin naik haji bisa dibaca dalam buku Ummi terbitan Republika (Kumpulan cerpen dan novelet Asma Nadia tentang ibu).
Saya sendiri pernah membaca naskah peserta lomba penulisan cerpen.
Di sana banyak sekali penulis yang memasukkan karakter asal tempel.
Misalnya:
Rita adalah siswa SMU yang sangat populer. Ia mempunyai genk ngetop yang beranggotakan 6 gadis cantik, Siska, Tia, Dita, Ajeng, Vina dan tentu saja ia sendiri.
Lalu di cerita tersebut dibahas konflik antara Rita dan Tia, sedangkan lainnya hanya tempelan. Padahal kalau satu genk tiga orang saja cerita tersebut tetap mengalir.
Jadi kisah itu kebanyakan tokoh sehingga hanya tokoh tempelan.
Apa itu tokoh tempelan?
Tokoh yang kalau kita cabut dari cerita, maka tidak memberi pengaruh apa-apa, karenanya dihilangkan saja.
Jadi intinya, kalau mau menulis cerpen atau niovel, pikirkan berapa tokoh yang kita ingin masukkan. Jangan kebanyakan jangan pula terlalu sedikit.
- Inkonsistensi Kata Ganti
Coba perhatikan apa yang salah dalam tulisan ini:
Saya baru saja mengalami pengalaman yang sangat menakutkan.
Barusan di kantorku ada perampokan, jumlah perampoknya ada tiga dan semua bersenjata api.
Sebenarnya sejak kecil Aku sudah belajar ilmu bela diri tapi menghadapi senjata api di depan mata, rasanya semua ilmu yang saya pelajari hilang.
Tahu kan apa yang salah?
Inkonsistensi kata ganti.
Di awal penulis menggunakan kata 'saya', lalu di tengah pakai 'aku', lalu pakai 'saya' lagi, kemudian ada 'aku' lagi.
Inkonsistensi kata ganti adalah salah satu kesalahan yang seirng dilakukan penulis pemula.
Sebenarnya boleh saya kadang kita pakai 'saya' lalu pakai 'aku', tapi itu ketika dalam dialog.
Misalnya:
Saya baru saja bertemu perampok, ketika dia menodong dan minta uang, saya bilang,
"Aku tidak punya uang!" dan saya langsung memukul perampok tersebut, dan dia roboh.
Ini boleh karena pemakaian aku dalam dialog dan saya dalam narasi.
Dalam buku istana kedua (sayang bukunya sedang habis di pasaran), Asma Nadia secara piawai menggunakan pemakaian Aku dan Saya sebagai penceritaan dengan sudut pandang orang pertama. (Ingat ya cerita bisa dari point of view orang pertama - saya, aku- atau orang ketiga - dia atau nama).
Tapi yang menarik dalam buku istana kedua ini, ternyata saya dan aku itu adalah sudut pandang dua orang yang berbeda. Pendekatan ini jarang di temukan di novel-novel lain. Pendekatan yang sangat brilian dari Asma Nadia (maklum novel ini dibuat selama 6 tahun).
Karena itu wajar Buku ini sempat menjadi buku terbaik dalam Islamic Book Fair.
Sabar ya, kalau mau baca buku ini, baru mau di republish beberapa bulan ke depan.
Nah kalau menulis maka perhatikan konsistensi kata ganti, kalau 'aku' ya 'aku' terus, kalau 'saya' ya 'saya' terus.
Tetap semangat ya...
- Terjebak Detail Yang Tidak Penting
Dalam sebuah tulisan, terutama cerpen, jumlah kata terbatas, karena itu pastikan setiap kalimat atau memang benar-benar penting.
Sebenarnya ini juga berlaku di novel maupun tulisan non fiksi.
Misalnya begini.
Sejak kecil ayahku suka bela diri.
Bahkan di ruang tamu dipajang dua bilah pedang samurai yang terpasang rapih bersilangan. Setiap liburan ayah menurunkan kedua pedang samurainya, melap dan memastikan pedang asli jepang tersebut tetap tajam dan bersinar.
bla...bla...bla...
Lalu hari itu datanglah.
Segerombolan perusuh masuk ke komplek rumah kami. Mereka merusak apa saja yang mereka lewati. Termasuk rumahku.
Kami semua bersembunyi. Untung saja kami punya ruang rahasia di bawah tanah.
bla...bla...bla...
Hari sudah gelap, tidak ada suara.
Nampaknya suasana sudah aman.
Kami semua keluar dari persembunyian. ternyata sudah banyak polisi dan petugas keamanan, dan situasi sudah kembali aman.
TAMAT.
Apa yang salah.
Penulis menceritakan tentang pedang, asli Jepang, diasah terus, mengkilat, ayahnya bela diri, tentunya pembaca berharap ada kepentingan atas detail tersebut.
Entah ayahnya menggunakan pedang untuk mengusir perusuh atau melakukan hal-hal yang menakjupkan dengan pedang tersebut.
Tapi ternyata sampai akhir, pedang itu tidak dibahas lagi dan tidak ada pengaruh apa-apa terhadap cerita. Bahkan tidak diceritakan apakah ayah bersembunyi membawa pedang atau apakah akhirnya pedangnya hilang diambil perusuh.
Nah ini yang namanya detail tidak penting.
Kita memasukkan suatu paparan panjang yang sampai akhir cerita ternyata tidak terpakai.
Kesalahan penulis pemula, sering memberikan info atau keterangan sekedar tempel saja, tanpa ada gunanya hingga cerita berakhir.
Tentang detail ini saya sangat terkesan ketika membaca cerpen Asma Nadia yang berjudul "Cinta Begitu Senja" cerpen yang ada di buku kumpulan Cerpen Emak Ingin Naik Haji."
Kisah tentang perasaan cinta yang bertahan lama sekalipun muncul sejak masa kanak-kanak.
Di dalam kisah itu digambarkan Fajar sang bocah yang sering membantu Senja (gadis tetangga).
Salah satunya ia sering mengembalikan bola bekel yang memantul nyasar kerumahnya. Ia selalu mengantarkan bola bekel yang nyasar ke rumahnya ke rumah Senja.
Kelihatannya simple, tetapi detail ini ternyata penting dan bukan sekedar tempelan.
Di pertengahan cerita kita baru akan sadar bola bekel tersebut bukan sekedar contoh saja.
Tapi saya tidak bisa ceritakan detail bagaimana Asma menyembunyikan detail bekel itu, karena nanti mengurangi kenikmatan membaca cerpen tersebut.
Tapi cerpen itu bagus untuk memahami betapa sebuah detail tidak terasa menjadi sebuah kunci dalam sebuah cerita.
Buat yang sudah membaca tentu mengerti maksud saya.
Intinya, ketika menulis, pastikan info atau detail yang ada ada gunanya bukan sekedar tempelan yang kalau dihilangkan tidak berpengaruh apa-apa.
- Terbebani Ide Dasar
Banyak yang mengira cerpen hebat harus memuat ide besar.
Kisah menjadi kuat kalau melibatkan peristiwa besar.
Padahal tidak demikian kenyataannya.
Banyak film-film besar biaya mahal kandas di pasaran dan menjadi cemoohan.
Sebaliknya ada film dengan ide sederhana tapi karena unik dan menyentuh sukses dalam berbagai ajang bergengsi, misalnya film Children of Heaven dari Iran.
Filmnya sederhana dan idenya juga sederhana, hanya seorang anak miskin yang ingin mempunyai sepatu baru karena sepatu lamanya yang usang hilang. Ia harus gantian dengan adiknya tukar pinjam sepatu kalau sekolah.
Sekalipun sederhana karena penggarapannya unik, film ini memenangi berbagai ajang film di dunia.
Sebaliknya saya pernah membaca kisah anak-anak.
Mereka bercerita tentang invasi alien ke bumi dalam sebuah cerpen.
Sebuah peristiwa yang menentukan hidup matinya populasi manusia.
Bukankah ini peristiwa besar?
Tapi bayangkan, peristiwa begitu besar harus diselesaikan dalam beberapa lembar A4. Tentu saja cerita menjadi tidak kuat.
Wajar saja itu karya anak-anak jadi buat pembelajaran boleh-boleh saja.
Asma Nadia dalam bukunya "Sakinah Bersamamu" mengangkat satu ide yang sangat sederhana tapi sangat menarik.
Judulnya "Rahasia Mas Danu." Idenya sangat sederhana. Tentang seorang suami yang sangat tidak romantis sampai-sampai tidak berani mengucapkan I love You ke istrinya, dan sang istri membujuk berbagai cara agar sang suami berani bilang I love You. Idenya sederhana tapi unik, ditambah dengan penggarapan yang menarik membuat ide sederhana ini menjadi kuat.
Bahkan buku yang dipilih sebagai buku favorit Good Read Indonesia 2012 ini, kalau kita perhatikan isinya ide-ide sederhana dalam masalah rumah tangga, yang akrab dengan keseharian.
Pada buku yang merupakan salah satu buku paling laris tahun 2011-2012 serta sudah dicetak ulang sebanyak 14 kali ini, kita bisa menemukan kisah sederhana seperti; anak kecil yang didik orang tua untuk berbohong setiap kali ada debt collector datang, ibu tukang gosip yang kena batunya dan berbagai ide sederhana lainnya yang terjadi sehari-hari.
Justru kesederhanaan itu yang membuat buku menjadi 'bacaan wajib suami istri' kata para pembacanya. Apalagi disetiap cerita diberi tambahan artikel ulasan penulis tentang masing-masing cerpen, sehingga buku kumpulan cerpen ini tidak hanya menghibur tapi juga mendidik.
Jadi jangan remehkan ide-ide yang sederhana karena itu bisa menjadi besar.
Salah satu
Idenya menarik, tinggal eksekusinya. Saat ini cerpen tersebut masih banyak dikritisi di forum group ini (lihat kritki cerpen 4).
Intinya, jangan terpaku hanya pada ide-ide besar.
Jika kita menemukan ide sederhana tapi menarik, itu sudah cukup untuk membuat kita jadi penulis besar.
- Mendefinisikan Secara Herbal
Berbeda dengan karya ilmiah atau buku pelajaran, karya non fiksi cerpen atau novel harus menghindari kalimat yang bersifat mendefinisikan. Kalimat seperti: ini adalah, itu merupakan, dia bersifat, berupakan kata-kata yang sejauh mungkin dihindarkan.
Misalnya begini.
Kita (Aku) ingin menceritakan karakter tokoh. Tokoh itu adalah tante kita (aku), bernama Tante Erna, adik ibu yang berusia hampir 40 tahun dan belum menikah. Tokoh ini punya kebiasaan unik, yaitu kadang menghilang (beberapa waktu) dan ketika muncul sudah ganti penampilan.
Penulis pemula yang mungkin dengan mudah memilih cara definitif.
Misalnya - opening:
Ibuku mempunyai adik berusia 40 tahun. Namanya Tante Erna. Ia belum menikah. Ia mempunyai kebiasaan yang unik, yaitu: menghilang dan ketika muncul sudah ganti penampilan.
Coba perhatikan, hampir setiap kata merupakan definisi verbal.
Bagaimana membuat ide yang sama tapi tapi lebih menarik dan tetap memberikan info yang sama tanpa terlihat memberikan definisi.
Mari kita simak cara Asma Nadia membuka openingnya dalam cerpen "Gaya Gaya Tante Erna" yang ada dalam buku Best seller "Sakinah Bersamamu"
Judul: Gaya-Gaya Tante Erna
Opening:
Adu dua hal yang unik dari Tante Erna yang kucatat dalam hati. Adik Mama yang belum menikah, meski usianya mendekati empat puluh tahun itu, memang lain dari yang lain.
Pertama, kebiasaannya menghilang untuk beberapa lama dan hadir di rumah dengan kejutan-kejutan bagi kami semua.
Yang kedua, setiap kali habis menghilang...pasti ada yang berubah dari penampilannya.
Dst.
Coba bandingkan, tulisan Asma Nadia sekalipun berawal dari ide yang sama tapi ketika ditulis dalam cerpen tidak terlihat sama sekali Asma sedang mendefinisikan sesuatu, tapi semua info bisa diterima pembaca.
Nah sekarang kita harus sering melatih untuk menyampaikan suatu definisi atau keadaan atau sifat tertentu tanpa harus terlihat seperti definisi.
- Memasukkan Karakter Pribadi ke Semua Tokoh di Tulisannya
Dalam sebuah launching, Asma Nadia diundang sebagai panelis yang diminta untuk mengkritisi karya salah seorang penulis novel yang baru saja menelurkan novel pertamanya.
Sekalipun secara sekilas karya novel tersebut bisa dikatakan bagus, tetapi ada kekurangan yang menyolok terhadap novelnya.
Apa kekuarangannya?
Hampir semua tokoh dalam novel tersebut cerdas, berwawasan, dan kritis.
Kok bisa?
Ternyata, latar belakang sang pengarang adalah pemikir yang memang dikenal cerdas. Ia juga wartawan handal di media ternama, dan ketika mahasiswa ia dikenal sebagai konseptor yang cemerlang.
Nah masalahnya, seluruh keunggulan pribadi si penulis tersebut, tanpa sadar masukn dalam karakter tokohnya.
Ketika menggambarkan tokoh pembantu ruma tangga, ia menyajikan tokoh pembantu yang sangat cerdas, kritis dan berwawasan. Dialog yang keluar dari pembantu tersebut sangat berwawasan.
Ketika ia menulis tentang buruh, juga demikian. Buruhnya sangat cerdas, argumentatif dan berwawasan.
Ketika menuliskan kisah cinta suami istri juga keduanya sama-sama cerdas, sehingga dialog dan perdebatan antara keduanya sangat kaya pengetahuan.
Tanpa sadar penulis memasukkan dirinya ke semua karakter.
Karena itu ketika kita membuat sebuah karakter dalam tulisan, kita harus menjadi orang lain, harus menjiwai karakter tersebut sehingga pembaca percaya pada karakter yang kita ciptakan.
Mungkin kita adalah lulusan SMA, tetapi kalau sedang menulis tentang karakter seorang dokter, ya harus riset, sehingga apa yang kita tulis dan katakan benar-benar terasa seperti keluar dari mulut seorang dokter.
Jadi kita harus bisa menyesuaikan diri dengan sesuai kebutuhan karakter, itu berarti menurunkan keilmuan atau menaikkannya, dan mengatur emosi kita mengikuti karakter yang ada.
- Asal Tempel
Dari sebagian besar naskah cerpen yang saya baca, ada kesalahan yang menyolok yang banyak dilakukan penulis pemula yaitu 'asal tempel'.
Banyak penulis asal masukkan info tanpa ada kaitan penting dalam cerita.
Ada yang asal tempel tempat.
Dia adalah lulusan Amerika - tapi tidak ada hub apa apa dengan cerita.
Pacarku mempunyai rumah di Tanggerang, aku bertemu dengannya karena dikenalkan temannya yang tinggal di Kerawang.
Jauh jauh ia mau menemuiku (tapi tidak dijelaskan aku di mana dan dia dari mana).
Ada yang asal ngomong jumlah.
Suamiku dijadikan tersangka atas kasus korupsi bernilai triliunan rupiah (Padahal di kisah itu suami kerjanya cuma supir). Please deh, kalau korupsi triliunan mah minimal menteri.
Asal nyebut nama.
Rini masuk kelas, ia langsung duduk di kursinya. Di depan tampak Rudi dan Rama bercakap-cakap. Ada juga Danu yang sibuk membaca. Lalu sampai akhir cerita semua yang disebut namanya tidak dibahas sama sekali. Namanay sekedar tempelan.
Ibu menyiram bunga di taman. Bunga mawar merah, kuning, biru semua bermekaran. Padahal tidak ada mawar warna biru.
Asal nyebut warna tanpa pengetahuan atau tanpa membayangkan akibatnya ngaco.
Intinya, kalau kamu memberi info dalam tulisan pastikan itu tidak asal ngomong. Minimal ada proses berpikir dan basis data dan kepentingan.
Kalau menyebut nama tempat pikirkan kenapa tempatnya di sana.
Kalau menyebut orang pikirkan perlu diberi nama atau sekedar figuran tanpa nama cukup aktivitasnya.
Kalau menyebutkan jumlah pikirkan yang wajar berapa.
Kalau menyebutkan jarak pikirkan jauh atau pendeknya.
Kalau menyebut harga pilih nilai yang wajar.
Jangan asal ngomong, kalau perlu riset.
Ini yang membedakan penulis profesional atau asal ngecap saja.
Oleh: Isa Alamsyah
Sumber
Label: tips
0 Comment(s)
00.01


